Beranda | Artikel
Hukum Itikaf Nadzar
Kamis, 21 April 2022

Pembahasan Ketiga
Hukum I’tikaf Nadzar

Sebagai tambahan untuk keterangan yang lalu bahwa terdapat perbedaan hukum tentang keluar dari tempat i’tikaf, antara i’tikaf nadzar dan i’tikaf sunnah. Untuk i’tikaf nadzar ada beberapa hukum:

  1. Jika ia bernadzar untuk i’tikaf (beberapa hari) berturut-turut, maka i’tikafnya batal dan ia harus ulangi i’tikafnya dari pertama.
  2. Jika nadzar i’tikafnya tidak ada pembatasan, maka i’tikaf yang sudah ia lakukan di masjid tetap sah. Seperti ia bernadzar, “Aku bernadzar i’tikaf beberapa hari di bulan Ramadhan.”
  3. Apabila ia bernadzar i’tikaf untuk waktu tertentu, maka jika ia keluar dari masjid akan memotong i’tikafnya. Dengan demikian hari i’tikafnya ia hitung dari hitungan baru dan hari ia keluar dari masjid jangan ia hitung. Seperti ia berkata, “Aku bernadzar untuk beri’tikaf selama empat hari di bulan ini.”
  4. Jika ia bernadzar i’tikaf sunnah, maka ia tidak harus melakukan apa-apa, hanya saja keluarnya dari masjid tanpa alasan syar’i akan membatalkan i’tikafnya. Jika ia mau, maka ia boleh mengulangi i’tikafnya kembali. Jika tidak mau, maka ia tidak perlu mengulangi.

Pembahasan Keempat
Syarat yang Ditentukan oleh Orang yang Sedang I’tikaf Itu Sendiri

Seorang yang hendak i’tikaf, boleh menentukan syarat i’tikaf bagi dirinya sendiri selama maksudnya tidak melanggar ketentuan i’tikaf, seperti untuk menjenguk orang sakit, menyaksikan penyelenggaraan jenazah, untuk memenuhi kebutuhan keluarganya atau makan malam di rumahnya. Adapun jika syarat yang ia tentukan melanggar ketentuan i’tikaf, seperti boleh bersetubuh dengan isteri, maka i’tikafnya batal. Atau ia meletakkan syarat sesuatu yang tidak penting, seperti boleh keluar untuk tamasya, jalan-jalan atau olah raga.

Walaupun menentukan syarat seperti ini masih diperselisihkan oleh ulama, namun hal ini dibolehkan oleh asy-Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan Abu Hanifah, sementara Malik melarangnya.

[Disalin dari kitab Ad-Du’aa’ wal I’tikaaf, Penulis Syaikh Samir bin Jamil bin Ahmad ar-Radhi, Judul dalam bahasa Indonesia I’tikaf Menurut Sunnah yang Shahih, Penerjemah Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit  Pustaka Ibnu Katsir]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/54850-hukum-itikaf-nadzar.html